RAMALAN JODOH

Minggu, 24 Januari 2010

Jangan Ngeres Ya...

Ruang tamu rumah si Mbah itu berukuran tiga kali lima meter. Bercat putih agak sedikit pink, menandakan si Mbah, penghuninya adalah sudah tua namun gaya hidupnya masih seperti anak muda yang tidak takut mati, agresif, semangat dan penuh kreatifitas. Menghadap ke depan, sebuah pintu yang senantiasa terbuka lepas sehingga para tamu bebas berkeliaran keluar masuk, meskipun tak lupa mereka tetap selalu mengucapkan salam sebagai bentuk penghormatan. Atap rumahnya yang polos terang dengan ukiran sentimentil di langit-langitnya mengingatkan kepada kesahajaan dan ketulusan. Meskipun di sisi lain, bentuk ruangan yang kotak adalah wujud karakternya yang sangat keras, egois namun tegas. Setiap hari rumah si Mbah tak pernah kosong oleh tamu. Selalu saja ada yang datang dengan membawa segudang alasan. Ibarat tong sampah, si Mbah seringkali dijadikan tempat mengadu, bertanya, berkeluh kesah, silaturrakhim, buang hajat, bahkan kadang berobat. Ilmu tentang pengobatan itu pernah di dapatkannya sewaktu berada di Tibet. Selama tiga belas setengah tahun dia keliling dunia. Hampir seluruh kota di dunia pernah di jamahnya. Hanya satu kota yang belum di singgahinya, katanya. Yaitu Papua yang ada di Kepulauan Irian Jaya, Indonesia. Entah apa alasannya, tidak jelas. Sebutan kepada si Mbah bagi kebanyakan orang sunguh sangat beragam. Itu tergantung kepentingan dan pengalaman yang berlaku waktu itu. Bagi para tetangga terdekat memanggilnya dengan Pakde, ada yang memanggilnya Eyang, si Mbah, pak Yai, Tabib, Psikolog, bahkan anak-anak pinggiran kali Cisadane tempat dia menanamkan pengetahuan memanggilnya guru Pandita. Entah apa alasannya, mungkin karena kecerdasan IQ-nya yang dua ratus enam puluh melebihi Enstain, sehingga cara berfikirnya terkesan nyleneh. Halamannya ditanami pohon jambu cangkokan antara jambu klutuk dengan jambu Bangkok yang menghasilkan buah jambu rasa apel. Daunnya rindang serta tangkainya banyak bercabang, tempat angringan ayam piarannya yang jumlahnya puluhan. Jika tamu yang baru bertandang dan salah parkir, maka kendaraannya memungkinkan akan terjatuhi oleh kotoran ayam dari atas pohon. Untuk itu, demi menjaga kebersihan, si Mbah selalu menyapu dan menyiramnya setiap datang waktu fajar, saat para tetangga masih terlelap dibuai mimpi. Suatu siang, matahari tepat di atas kepala. Cahayanya menelan panas seperti hendak menerkam bumi. Udara seakan tertekan menggumpal di satu ruang. Seorang tamu bertubuh lumayan gempal bernama Lam Tok; lelaki blesteran Gunung Kidul dan Arab tengah duduk di dalamnya setelah dipersilahkan masuk oleh si Mbah. Dia menghadap persis pada sebuah bingkai foto berwarna hitam putih bergambar Buyut yang terletak di samping jepitan buku-buku bacaan si Mbah yang turut menghias ruang tamu. Gayanya cukup perlente dengan kacamata agak minus disangga hidungnya yang rada pesek. “Saya datang terus terang membawa masalah Mbah, seperti orang kebanyakan…” papar Lam Tok membuka dialog. “ Sudah tahu!” tegas si Mbah dengan gayanya yang ndelelek sehingga nampak giginya yang ompong tapi tak pernah menjadi keluhan. “Ah, si Mbah mengada-ada…?” Lam Tok heran. “Usaha rumah makan dan tambak udang yang bangkrut itu belum seberapa harganya jika dibandingkan dengan matamu yang sampai saat ini masih bisa melihat” Betul-betul Lam Tok terkejut. Si Mbah benar-benar bisa membaca pikirannya yang selama ini disembunyikan. “Tapi Mbah…?” “Kamu bisa membeli kentut kamu ?” “Wah, itu hobi saya…maaf,maaf…” Lam Tok sedikit bergurau dan konyol. Rasa malunya di simpan dalam-dalam sekalipun dihatinya terselip kesadaran yang tiba-tiba pecah. Bayang-bayang makin memendek seiring dengan langkah bumi yang terus berputar. Sementara matahari tampak meninggalkan Timur mulai membentuk waktu asar. Kali ini Lam Tok duduk termangu. Dalam benaknya terbetik kebahagiaan tersendiri. Dia seperti tiba-tiba sembuh dari sakit. Apa yang selama ini dicari telah di dapatkan. Seorang Guru sekaligus orang tua. Dan yang lebih dari itu adalah Pengobat bagi penyakit kekecewannyanya selama ini. Gemercik air aquarium yang sejak tadi menghiasi ruang tamu seakan sirna. Benar-benar Lam Tok ditenggelamkan oleh kesadaran berfikir baru atas bahasa si Mbah yang dirasakan cukup menikamnya. Dia seakan lumpuh. Sekarang kembali lagi dia mengatakan oh ya,ya … setelah sekian tahun dia menjadi dosen tak pernah mengatakan itu. Udara masih panas. Lam Tok agak gerah. Selembar kertas dikipas-kipaskan ke muka dan tubuhnya. “Jadi Mbah, saya nggak perlu lagi memperdulikan kebangkrutan itu…. Biar jiwa saya tenang ?” “Sebenarnya kamu sudah menjawab sendiri” “Tapi, bagaimana cara saya memberi pengertian kepada isteri saya, bahwa semua ini adalah takdir ?” “Kamu salah, itu bukan takdir. Tapi bisa jadi kecerobohanmu, bisa jadi perhitungan akal sehatmu yang tidak sempurna waktu itu, atau bisa jadi memang itu cara Tuhan selanjutnya menyelamatkanmu” “Bangkrut kok selamat sih Mbah ?” “Kamu itu pintar tapi goblok tenan” “ha ha ha….” keduanya tertawa selayaknya bapak dan anak yang sedang bermain kuda-kudaan. “Kamu mau diberikan kenikmatan Tuhan tapi itu menjadikan kamu makin sombong, kikir, serakah ?” Tanya si Mbah sambil menghisap sebatang rokok yang baru saja di sulutnya. “ Lha ilmu itu sudah saya dapatkan sepuluh tahun silam, sewaktu masih di Malang. Pasti nggak mau dong Mbah. Tapi kalau kenikmatannya saja ya mau-mau saja” jawab Lam Tok sedikit ndableg. “Kamu itu memang sudrun Lam Tok, tapi nggak apa-apa, saya senang kok. Itu pertanda kamu masih bisa sehat” “Hah, saya sakit to Mbah?” “Ya, sakit Kurang Ajar” “Ha, ha, ha….” Lam Tok tertawa sambil tanpa sengaja memegelus-elus jempol kakinya sebelah kanan. “Mbah saya mau tanya satu hal lagi, tapi ini soal lain, dan bukan keluhan” Tanya Lam Tok lagi. “Syukur kalau sudah sadar !” sahut si Mbah. Rona wajah Lam Tok tampak sedikit mringis. Pertanda dia cukup geram dengan si Mbah. “Kalau orang yang saya anggap guru saja sudah gendeng seperti ini. Muridnya lama-lama bisa sableng …., “ gemercik hati Lamtok terbungkus perasaan. “Begini Mbah, kenapa di negeri kita yang terkenal taat beragama banyak orang yang suka mengusir Tuhan?” “Sejak kapan kamu belajar filsafat?” Tanya balik si Mbah. “Saya tanya kok malah ditanya sih Mbah!” “Pertanyaan kamu itu seperti ketika kamu sedang buang air besar di kamar mandi, kemudian kamu melihat langit-langit, dinding-dindingnya menyesakkan kamu, dan Tuhan tabu kamu sebut di dalamnya. Padahal ketika kamu masih bisa mengeluarkan kotoran, sesungguhnya kamu telah didekap Tuhan, disayang Tuhan, dan ditolong Tuhan”“Kata Kyai, haram menyebut nama Tuhan di dalam WC”“Kamu sadar tidak, bahwa setan dan iblis sesungguhnya banyak membangun sarang Penipuannya-nya di dalam WC, kalau Tuhan lantas kamu usir saat itu, lantas kepada siapa selanjutnya kamu menggantungkan satu tetes air kencing dapat keluar dari lubang kemaluanmu dengan normal?”“Atau, ketika kamu sedang mengajar, yang ada di benakmu hanya sederetan tanggal gajian di awal bulan. Tapi kamu tak pernah perduli bahwa anak didik kamu sekarang tengah depresi dan kehilangan Tuhan, sebab orang tuanya hanya bisa menyekolahkan saja, tapi tak bisa mengenalkan anaknya kepada cara mengatasi masalah hidup yang sejati. Apa bedanya dengan kamu yang hanya bisa mengajari mereka dengan sekedar menjawab soal ? “Bukankah diam-diam kamu juga telah mengusir Tuhan, sebab kamu telah menjadikan otakmu itu tidak berfikir secara benar, padahal dia adalah universitas ?”“Coba bayangkan, Apakah Nabi Idris sebelumnya pernah sekolah ketika dia menemukan mesin jahit dan tahu tentang ilmu bintang ?”“Apakah Nabi Nuh sebelumnya pernah sekolah ketika dia bisa membuat perahu yang sebesar kepulauan Indonesia dalam masa yang sangat panjang ?”“Apakah ratu Balqis sebelumnya pernah sekolah untuk mengkonstruksi kerajaannya yang berlantai kaca?”“Apakah Isa, Muhammad, Budha, Kong Hu-Cu, Musa, Darwin, Asoka pernah kuliah sehingga mereka menjadi orang yang sangat diperhitungkan karena keistimewaannya?”“Ternyata tidak khan…” si Mbah menegaskan dengan kalimat yang cukup panjang.Lam Tok terpaku sesaat. Sorot matanya lurus menandakan kalau dia tengah berfikir keras.“Jadi…?” katanya.Si Mbah tidak langsung menjawab. Disulutnya kembali sebatang rokok. Setelah menghisap tiga kali baru dia menjawab.“Artinya, kamu jangan mengingkari kehadiran Tuhan di dalam segala hal. Peran serta otak kamu sehingga bisa berfikir itu atas karya siapa, tangan kamu sehingga bisa meraba, kaki kamu sehingga bisa melangkah, hidung kamu sehingga bisa mencium, telinga kamu sehingga bisa mendengar, kemaluan kamu sehingga bisa beranak pinak, perut kamu sehingga bisa merasakan lapar, jantung kamu sehingga darah dalam tubuh bisa mengalir, ingatan kamu sehingga kamu dapat tetap mengenali saudara-saudara kamu, teman-teman kamu, guru-guru kamu, tetangga-tetangga kamu, bahkan musuh-musuh kamu, semua karya siapa ?”“Jika semua itu tidak kamu manfaatkan ke jalan yang benar apa bedanya dengan istilah kamu telah mengusir Tuhan dalam kedirianmu ?”“Kenalilah dirimu, maka kamu akan kenal Tuhanmu” papar si Mbah.“Tapi Mbah, bagaimana dengan si Mbah yang suka merokok itu ? Berarti si Mbah mengusir Tuhan dong…katanya mengotori paru-paru ?” Tanya Lam Tok ngeledek guyonan yang membuat si Mbah merasa seperti di’pukul’ balik.“Dasar murid bagindul…” geram si Mbah dalam hati.Tanpa terasa Ashar datang. Keduanya sadar masih banyak tugas yang belum diselesaikan. Lam Tok bergegas pamitan.Lam Tok melangkahkan kaki keluar pintu. Si Mbah menyusul mengantarkan sampai keluar, sebagai bentuk penghormatan kepada tamu.“Yang masalah rokok tadi termasuk kategori mengusir Tuhan tidak Mbah. Tadi lupa dijawab !!?” Tanya Lam Tok mengulang pertanyaannya yang belum tuntas jawabannya memanfaatkan sisa waktu.“Jawaban tentang itu butuh penjelasan tiga hari berturut-turut. Banyak sisi yang harus dikupas. Pasti kamu belum sanggup mendengarkannya sekarang !” jawab si Mbah sembari menepuk punggung Lam Tok kencang sekali, terus merangkulnya.“Bukan apologi kan …” sahut Lam Tok.Keduanya tertawa terbahak-bahak menyusul Lam Tok yang pulang.*** Tangerang, Desember 2009 Lukisan dari Dalam Tanah Senin, paruh ketiga tahun kabisat. Matahari sebenarnya cukup cerah. Tapi entah kenapa, hari itu tiba-tiba pelataran Puspem Tanah Tinggi nampak tidak seperti biasanya. Sudah sejak pagi-pagi sekali keramiknya ditumbuhi lukisan-lukisan yang menyembul dari dalam tanah. Lukisan itu semuanya hidup dengan beragam bentuknya. Bahkan sesekali ia seperti ular, menari rancak dan berjingkrak-jingkrak setiap mendengar kotekan perkusi, yang terselip di ketiak angin. Menghembusnya …… Dari cat akrilik yang mengolesi wajahnya kelihatan bahwa lukisan-lukisan itu adalah karya para Pelukis Sarkasme yang terpaksa harus dikubur hidup-hidup pada masa rezim Bah, sepuluh tahun yang silam. Alasannya sederhana saja, bahwa mereka terlalu nekat ingin merubah aturan yang sudah diplot. Padahal sudah terbukti, selama rezim Bah berkuasa, tidak banyak rakyat yang kelaparan. Waktu itu anak-anak jika ingin makan glali; sejenis gula merah yang dibuat manisan bisa barter dengan sejumput padi selepas bapak – ibunya ngani-ani. Tidak seperti sekarang, harga-harga bahan pokok tinggi mencekik setelah BBM naik, sehingga untuk mendapatkanya harus lebih dulu mencuri, merampok dan saling tindih. Begitu masa terus berlalu, para pelukis itu memang tidak senasib Picasso dan Leonardo de Vinci, jerit pilu menggumpal, lengket berborok, berlangsung sudah bertahun-tahun. Inspirasinya tak pernah merasa merdeka. Jalan hidup mereka seperti terpasung. Saat mereka berteriak dan membentuk lukisan yang menggores pada setiap dinding, gedek, pagar, di dusun-dusun dan tikungan-tikungan kota, selalu saja disumbat dengan peluru dan disegel dengan tongkat besi. Begitu kejadian itu terus berulang-bergulung. Sehingga untuk mengurangi keperihan, terpaksa mereka telan cita-cita yang sebenarnya suci. Bahkan dibiarkan mengkristal di dalam perutnya, membentuk dendam dan sengit. Akibatnya untuk makan anak dan istri, setiap lukisan, sarapannya dibutuhkan cipratan darah. Itupun mereka harus membunuh penglihatan dan pendengaran mereka. menandakan, bahwa mereka terpaksa harus mengubur harga dirinya yang memang sulit lagi untuk dijadikan kado pada setiap perjamuan. Yah, mungkin dengan cara itulah mereka dapat menyuguhkan hasrat bagi muncratnya sebuah lukisan. Hari, saat musim makin digepet gempa, adalah ulang tahun kota. Lukisan-lukisan hidup itu lantas bergerombol menuju astaka. Semua dinding-dindingnya dilepas. Hanya atapnya yang dibiarkan membentuk bayang-bayang. Salah satu lukisan yang mirip Abas Ali Basa sang realis langsung naik di atasnya. “Hari ini kita akan mengadili orang-orang yang mengunjungi kita” katanya.Semua teman-temannya sebentar terjengah. Dan terus saja lukisan itu menorehkan setiap percikan kata melukisi ribuan telinga yang telanjang. Bahkan katanya lagi, “Jika kemarin kita lama terkubur di dalam tanah, dan selalu saja diinjak-injak, hari ini adalah perhelatan rasa. Jangan dilewatkan. Labuhkan cita-cita mengganti keausan nasib tempo hari, sebab tarian kita harus terwujud. Kalaupun terpaksa dijual. Jangan sekali-kali memasang harga yang rendah. Bisa mati kehendak !!!”Semuanya merenung. Bahkan tanpa sadar masing-masing teringat masa lalunya. Kedutan nadi yang melintas pada paras mukanya semakin tak bisa ditipu. Lantas kakinya yang rata-rata berbentuk kotak itu tegak di atas karakter-karakter milik pribadi. Dan setiap jati diri tetap berbeda. Tapi mereka tak pernah menganggap itu sebagai bentuk pertikaian. Bahkan sebaliknya, kali ini mereka malah saling berpelukan, menikmati sisa waktu, sembari terus menumpahkan warna-warna di atas kanvas, berkelok-kelok, sreeet …sret, berputar, lurus, titik lantas sparasi dan mengikat. Sungguh persetubuhan warna yang menggeliatkan. “Kita senasib dari dulu” pikiran Surealis yang tergantung di dinding, sembari menunggu dirinya dihargai.“Ah, jangan pesimis !” sahut Karikatur tiba-tiba.Cahaya menusuk celah-celah. Pori-pori, mendidihkan nurani bangkit. Selembar sorotnya menukik di mata.Setelahnya, dimana seribu wejangan telah ditebar, menyusul pengunjung satu persatu berdatangan. Mereka adalah pejabat kota, seniman, sastrawan, karyawan, satpam, Clening servis, guru, dan banyak yang lainnya.“Sekarang saatnya berkhotbah kawan-kawan. Segera saja torehkan terus cat di atas kanvas” ajak Lukisan Realis kepada teman-temannya yang langsung disambut tepuk tangan oleh lainnya.Nampaknya mereka mulai sadar setelah kenangan pahit nasibnya makin merompong dan nazak. Kemudian, para lukisan meluruhkan baju pembungkusnya. Ditarik selembar sinar menutupi rautnya yang berbintik. Dadanya mulai tengadah menarik perhatian. Seperti Asoka mereka seakan siap berperang, jika jalan kebersamaan telah digorok.Keprak-keprak perkusi menyusul semakin memabukkan.Masing-masing berteriak-teriak. “Luahkan terus yang terselip di jiwa. Hembuskan dan bakar !!!”“Jangan pernah kau tanam di dalam gelap. Sebab kepedulian itu adalah cahaya kita selanjutnya. Bangkitkan kekalahan yang remuk. Sambut tengadah tangannya. Lemparkan segala kerisauan ke atas angin. Pecah. Dan jadikan ia bayang. Simak terus perjalanan kita yang retak. Semburatkan…” Abstrak mulai memuntahkan tutur-tutur kabur.“Ya, jika perlu, mari kita gotong balai budaya ke atas puncak makam pahlawan seribu. Biar dia menjadi arwah. Keramaian malam jumat itu jangan di simpan di dalam peti. Cukuplah tahlil menggores kesadaran kita yang sudah retak. Terbelah menjadi perut dan cita-cita” sahut surealis sedikit geram.Angin berkelebat. Tubuh Kaligrafi sedikit bergeser membentur dinding. Dan ketika seorang pengunjung berpeci itu datang, dia malah mengeluh.“Sekarang aku seperti sebait puisi. Tapi dilukis di atas kanvas. Jika aku disanjung, itu adalah batu nisan. Sebab mereka telah kehilangan warna yang mengolesiku, mereka telah kehilangan cahaya yang mencerahkanku, mereka telah kehilangan kesejatian yang membentukku. Pikirnya aku adalah dia. Padahal setelah aku ada. Dia mestinya harus kehilangan dia. Hilang. Dan Dia adalah Dia yang terakhir itu. Maka jika aku didiamkan, itu wajar, sebab dia bukanlah Dia. Jika saja dia faham bahwa dia adalah Dia, maka pasti dia akan bersujud justru pada Dia” sergahnya sedikit filsafat.Muka kaligrafi pun entah kenapa berubah pucat. Seakan dia meneyimpan harapan yang lebih dari gemuruh samudra.Ayunan waktu terus bergoyang menuju batas. Kembali lagi lukisan-liukisan itu terus mencoba menerobos celah dan berkeliaran di antara ruang-ruang. Bayang-bayang makin menjepitnya seperti tak berdaya. Sama sekali tak ada yang menyentuhnya. Sementara ribuan pandang hanya menyisakan lengket getir di setiap ujung jemari.“Don’t touch ! Eh, malah dipegang”, gusar.“Pengunjung itu tak pernah mudeng tentang harga sebuah karya. Siapa yang mau beli jika ada sisa goresan sidik jari. Najis !”Cahaya buram. Lukisan semakin menggelepar. Ada yang terpasung setelah sekian tahun tak membuahkan ladang perut. Menyisakan keluh dan kecewa.Lukisan-lukisan itu kembali kehilangan dirinya.Mukanya pucat pasi. Dan perlahan-lahan kembali dia menjadi mayat, seiring batas waktu yang dihampar. Masing-masing kembali dilepas dari atas gantungan. Menuju peti.Kembali lagi terkubur dalam tanah. Gelap !!! *** Terbelahnya Negeri Tang Ombak di pantai utara tiba-tiba menggeliat tidak seperti biasanya. Tubuhnya tergeregap bertubi-tubi disekap angin pitutur di musim yang terjepit. Nafasnya tersengal-sengal membuat parau tenaganya, sehingga dia harus kerapkali terbanting dan terlempar ke tepi girusan pantai dengan tajam. Dowo Yuswo, seorang nelayan tua yang sejak dalam kandungan sudah akrab dengan samudra, sedang terpekur di atas perahu. Matanya tajam membaca isyarat alam. “Ini adalah tanda-tanda sebuah negeri akan mengalami tatanan yang berubah dari bentuk sebelumnya” firasatnya dalam hati selayaknya seorang peramal.Di Negeri Tang, Dowo Yuswo sendiri adalah puyang. Usianya sudah seratus satu tahun jauh melebihi rata-rata. Dan itu, lebih separo hidupnya dihabiskan di atas perahu. Tapi tubuhnya masih kuat selayaknya besi. Mungkin karena kecintaannya pada laut lepas sehingga bisa membuatnya bertahan hingga sekarang. Sepertinya itu memang sudah menjadi cita-cita Parwati, Mboknya. Sejak mengandung janinnya konon sering mengalami keanehan, Parwati selalu ngidam ingin disetubuhi Kamareka suaminya, di atas geladak saat berlayar sembari melihat percikan bintang-bintang yang tak terhitung jumlahnya. Biar anaknya kelak diberikan panjang umur, katanya. Angin bertiup semakin kencang sekali seiring dengan awan yang terus menggumpal. Dowo Yuswo bergegas melemparkan jaringnya ke laut. Dari arah belakang, Jangkung, Anak buah perahunya yang turut menyaksikan gejala perubahan alam tersebut bergegas mendatangi Dowo Yuswo. “Puyang!” begitu Dowo Yuswo disapa.“Sepertinya akan terjadi sesuatu di negeri kita?” Tanya Jangkung ketakutan.Perahu terhentak-hentak diterjang gelombang, sementara jingga di langit telah mengernyit dan memerah. “Jangan khwatir cucuku. Panjatkan doa kepada Tuhan sesering mungkin” Jawab Dowo Yuswo dengan suara yang sedikit rendah.“Maksudnya…?” Jangkung terheran-heran.“Kamu ingat tentang kejadian delapan tahun yang silam?” Dowo Yuswo balik bertanya.“????????????” sejenak Jangkung mengembalikan ingatan lama yang sudah jauh terkubur.“Huru-hara di negeri kita ya puyang ...” Jangkung hati-hati menerka.“Betul” sergah Dowo yuswo.“Kalau begitu ini berarti pertanda kurang baik bagi negeri Tang ke depan ya puyang?” Jangkung semakin merinding.“Bukan, tetap ada dua kemungkinan”“Jadi…?”““Ya kemungkinan apa saja bisa terjadi, mau baik atau buruk itu tidak bisa dijawab sekarang” papar Dowo Yuswo sedikit filosofis yang tetap membuat Jangkung mengernyitkan dahi.Melihat bulu alis mata Jangkung yang naik turun, Dowo Yuswo terus saja mendera Jangkung dengan pemahaman arti hidup yang sesungguhnya. Maklum, dalam catatan Dowo Yuswo, Jangkung, selama ikut ngawulo dengannya selalu saja hanya memikirkan dirinya sendiri, sementara Tuhan dinomor sekiankan. “Makanya, kamu banyak-banyak saja ingat Tuhan” kata Dowo Yuswo menenangkan jiwa Jangkung yang mudah dihempas oleh perasaan was-was.Dowo Yuswo dibantu Jangkung menarik Jala dengan perlahan-lahan, meskipun kelihatannya nampak terlalu lebar untuk ukuran mereka.Beberapa jenis ikan di dapatkannya. Rasa syukur mereka kepada Tuhan. Hari itu mereka pulang dengan senyum, meskipun dalam hati mereka tetap digenangi tanda tanya yang meraksasa terhadap kejadian apa yang akan berlaku pada negeri Tang-nya. *** Sekembalinya mereka dari berlayar, tiba-tiba dilihatnya negeri Tang tengah mengalami keolengan seperti perahu yang diseret gelombang pasang. Kencang sekali. Semua penduduk negeri Tang baik yang ada di wilayah bagian Pantai Utara maupun yang berdiam di sebelah pegunungan Cipasera nampak sibuk saling seret-menyeret mencari dukungan bagi tegaknya sebuah calon negeri kecilnya masing-masing. Ketidak puasan bagi sebagian penduduk yang ada di kedua wilayah tersebut terhadap dekapan ketiak kekuasaan yang dirasakan sedikit kecut, serta beragam alasan ketidak selarasan batin yang masing-masing bercabang atas cara kerja Petinggi negeri Tang telah dinilainya belum begitu adil dalam pendistribusian bagi arah pembangunan, kian merontokkan kesabaran mereka yang telah ditahan semenjak diberlakukannya otonomi daerah bagi negeri itu. Hari terus berjalan, gesekan pertentangan antar penduduk masing-masing negeri Tang semakin memerihkan. Berbagai perasaan yang sifatnya hambar muncul ke permukaan. Bagi orang pribumi, rasa iri dan sakit hati terhadap para perantau yang dinilai lebih berhasil hidupnya ketimbang penduduk asli, telah membungkuskan dendam tersendiri dalam lipatan yang menyesakkan atas orang-orang tertentu. Mereka seakan telah lupa bahwa sesungguhnya tanah merah tempat dimana Tuhan ‘melahirkan’nya adalah bukan berarti lantas bumi ini miliknya. Bahkan setiap jengkal bumi adalah titipan yang dianugerahkan Tuhan bagi semuanya untuk dijaga bersama. Sementara bagi yang bukan pribumi pada orang-orang tertentu pun terus menimbun kekuasaaan dengan tanpa kompromi dan pandang bulu. Mereka tak lagi perdulikan ahlul bait yang juga pantas untuk dihormat layaknya Anshar dan Muhajirin.Mereka menginjak-injak dan mencaci maki topeng tapi di sisi yang lain mereka juga sama-sama menyelipkan topeng untuk dijadikan mahkota kehormatannya.Segala macam perasaan yang lain pun ikut menerjang bagaikan derasnya gelombang pasang. Perasaan terus berkecamuk dihati kedua penduduk yang mendiami wilayah Pantai Utara dan pegunungan Cipasera.Banyak cara yang dilakukan oleh mereka untuk membuat ‘brain opini’ demi kepentingan apologi-nya. Selebaran-selebaran yang bernada sinis dan manis di sebar ke setiap penduduk hampir setiap harinya. Semua Koran dan media lainnya yang terbit di negeri Tang tersebut juga menjadikan momentum ini justru untuk head line dan kepentingan meningkatkan oplah cetaknya. Ruang ajang debat banyak dibanjiri messages.Ibarat api, bara itu terus berkobar. Dan jika agak padam dikobarkan kembali sampai penduduk negeri Tang gerah. “Puyang…! Benarkah ini tanda-tanda itu?” Tanya Jangkung pada Dowo Yuswo sedikit terperangah.Dowo Yuswo hanya diam, matanya sedikit agak terpejam sejenak. Mulutnya komat-kamit seperti merafal doa yang tak jelas.“……………….” Keduanya lengang.Sejenak kemudian Dowo Yuswo merangkul tubuh Jangkung yang legam lantas mengelus lembut pundaknya. “Inilah tanda-tanda kejadian yang akan menimpa negeri kita, Jangkung …”, katanya.“Dan ini belum seberapa. Tapi kamu tak perlu khwatir. Sama seperti bara di terik panas. Ia sangat potensial sekali untuk terus berkobar, sampai nanti ketika titik apinya habis menjadi arang, biasanya di sanalah jawaban akhirnya” jelas Dowo Yuswo lebih lanjut yang makin membuat Jangkung tidak mudeng.“Bingung aku Puyang???” Jangkung garuk-garuk kepala.“Kamu itu mesti ingat sejarah di negeri kita delapan tahun silam. Dari sana dapat kamu lihat, bahwa sesungguhnya negeri kita ini akan mengalami pengulangan sejarah seperti waktu itu. Dan inilah sejarah warisan”“Apalagi itu Puyang?”“Artinya, potensi kepribadian nenek moyang kita baik sejak Majapahit sampai Republik adalah gila perebutan kekuasaan. Kamu ingat kerajaan besar waktu itu dipecah-pecah untuk melahirkan wilayah kekuasaan baru bagi raja-raja kecil. Bukankah nenek moyang kita banyak yang lebih mengedepankan cara berfikir bagaimana bisa disembah dengan melakukan kerja-kerja yang instan, tanpa lagi lebih memperdulikan persoalan kecil seperti memebersihkan belekan mata yang nangkring di idep” ulas Dowo Yuswo sembari mengencangkan lipatan kain sarung.“Tapi Puyang…, pembelahan kekuasaan yang besar menjadi bagian-bagian yang kecil itu menguntungkan lho. Bayangkan, cara kerja mereka lebih fokus dan beban yang diemban tak lagi kerepotan, otomatis kerja menjadi ringan dan gampang kan !” tiba-tiba Jangkung agak sedikit cerdas.“Itu kan kalau menurut kamu. Boleh saja setelah terbelah, kamu satukan lagi menjadi Nusantara layaknya Gajahmada yang memang benar-benar berjuang untuk rakyatnya. Tapi bagaimana jika yang terjadi adalah justru sebaliknya. Negeri-negeri kecil semakin angkuh dan arogan bagi kediriannya masing-masing. Bukankah ini berarti kita telah membiakkan virus bagi raja-raja kecil untuk potensial membohongi rakyat demi kepentingannya sendiri ! Lantas dimana sumpah Palapa? Jangan-jangan itu hanya sumpah Pak Lupa!”“Puyang terlalu berfikir negatif dulu …”“Kalau tidak percaya buktikan saja!” sergah Dowo Yuswo tegas.“…………………” kembali lagi diam sejenak dan Jangkung memandang ke langit.Sementara senja semakin terpekur di balik jati. Cahaya makin menyingsit. Jangkung ngelayut di sudut dinding tak percaya dengan apa yang terjadi atas negerinya. Dowo Yuswo masih duduk menyandarkan punggungnya pada tiang bambu gubuknya yang sedikit rapuh dimakan rayap. Matanya terpejam. Tak ada gerak. Jangkung mengira pasti puyangnya tertidur kelelahan. Padahal sebenarnya setelah itu Tuhan telah mengutus Izrail mencabut nyawanya, mengulang kisah Sulaiman yang mati sambil berdiri di sangga tongkat karomah.*** Pelembang, 10 November 2009 (revisi) VAGINA Pagi buta, menyisakan lengket gelap. Menumpahkan hasrat naïf pada ranjang kumal. Seorang perempuan muda seperempat usia rata-rata, nampak lelah setelah seluruh tubuhnya terkelupas ditelan gairah. Bibirnya nampak hitam dengan sebatang kretek terjepit di antara dua pahanya. Serpihan mukanya penuh iblis dan sirik memahat ukiran hambar …, getir!. Diusapkan selembar uang kertas bergambar gedung MPR RI dan Soekarno -Hatta, mengeringkan percikan-percikan noda, kental dan bau, yang mengalir dari rongga vaginanya. Seperti biasa, perempuan itu nampak kejam setiap mengenang kisahnya yang terkutuk. Pernah suatu hari, dia diperkosa oleh bapak kandungnya sendiri; ketika ibunya pergi arisan. Bahkan sejak saat itu, pandangannya tentang lelaki pun sudah membentuk sampah biadab, jijik dan najis!!! Hari-hari berikutnya, setiap cahaya menyingsit, keperihan itu terus saja membungkus dendam. Diselimutkan ribuan belati dan gergaji menjadi cawat. Selanjutnya adalah pahlawan untuk vaginanya. *** Lonceng gereja kencang berdentam dari sudut tenggara bilik lapuk yang ia bangun. Meskipun terasnya sedikit dihias pot-pot mawar dan kenanga, tapi bau harumnya kerapkali justru malah menerbangkan bau busuk kebejatan bapaknya yang telah menjadi bangkai di keruh batinnya. Setiap ziarah bukan bunga yang ia tanam pada kubur bapaknya, tapi paku-paku yang telah dilumati dengan dupa. Cita-citanya sekarang gelap dan kerapkali kenangan wajah bapak kadalnya itu seperti tombak selalu kembali menusuk vaginanya. Basin dan muntah ! Tak ada foto.“Menjijikkan” berkali-kali perempuan itu seperti mengaum.Pada matahari yang telah luruh di depannya. Bahkan tak mungkin lagi perempuan itu harus memanggang rembulan di atas pelepah daun pisang yang seringkali dijadikan tumbal dan santet. Mengunci setiap kejantanan. Bahkan tak ada lagi kitab suci. Telah dibangun pengadilan jiwanya selama bertahun-tahun. Pahit memang yang telah perempuan itu rasakan. Dia sudah tidak perduli. Di depannya hanya ada kemunafikan dan pengkhianatan. Semuanya palsu ….perih sekali sukmanya. “Tuhan tidak adil, kenapa aku terlahir dari lelaki bodek” keluhnya suatu ketika memasung angkara.Lantas hampir setiap malam, dia taklukkan banyak lelaki agar menyembah vaginanya. Sudah tak terhitung berapa banyak kepala lelaki terjerat pada sarangnya. Semakin banyak lelaki yang dia ‘makan’, perempuan itu semakin buas merajam bayang wajah bapaknya. Ya, di dalam vagina itu terus terjadi pengadilan. Lecutan cemeti beriring perih menggores tajam bayang bapaknya.Dengan berdarah-darah, bayang wajah sang bapak seperti terus ditikamnya dengan neraka. “Maafkan aku anakku !!!” pintanya. “Dasar biadab !!!” “Tolong, kasihani bapakmu nak …” “Tidak !!!”, bentak perempuan itu. “Bapak akan terus dihukum Tuhan, jika kamu tidak menolongku” “Menolong dengan apa ? Persetubuhan …, dasar laki-laki gendruwo !” “Tolong anakku, tolong…, bapak tak tahan dengan siksaan ini …” “Hah ! aku yang akan menyiksamu bukan Tuhan, aku yang sakit …juga bukan Tuhan ! “ Wajah bapaknya makin dijepit dengan vaginanya. Dia kesakitan. Dan semakin sakit. Tubuhnya makin menghitam tersekap pengap. Bau busuk vagina terus merobek dan menyayat-nyayat lubang hidungnya. “Ya, aku yang akan terus menyiksamu ….” Perempuan itu kembali meluruhkan baju. Diseret setiap lelaki untuk membantu membunuh bayang bapaknya. “Dasar kejam…” begitu kata hatinya setiap melewatkan nafas-nafas sengal. Sudah empat belas tahun lebih tiga bulan perempuan itu memahat dendam. Setidaknya, keringatnya telah menjadi rumah dan kosmetik. Bibirnya semakin merah. Sudah tak terhitung zakar menggergaji bayang bapaknya. Semua turut membantai. Semakin dalam dan keras pukulannya, yang ada dalam benak perempuan itu adalah menyiksa bapaknya. Lendir-lendir menggumpal bercampur darah. Sedikit bau. Tapi setelah perempuan itu berhasil menyekap lelaki yang mirip dengan bapaknya, dia terus menjerat dijadikan bantal“Tidak usah bayar, sebentar lagi aku akan menghukummu dengan sempurna !!!” pikirnya dalam hati setiap lelaki itu menyambar rambutnya.Tiba-tiba ………….. “Sebenarnya aku sudah tidak penting untuk hidup ….” kata perempuan itu sembari merebahkan tubuhnya dengan sempurna. Nampak sorot matanya layu.“Tapi ada satu cita-cita saya yang belum terkabul”“Apa itu ?” sergah lelaki itu.“Menyiksa arwah bapakku …..”Lelaki itu terkejut. Ditariknya selembar sarung menutupi kelaminnya. Tak ada kata-kata yang terucap dari mulutnya. Dia menarik tiga lembar kertas uang dan diselipkan di atas daun telinganya. Sembari menciumnya diucapkan lembut sebait kata “Terima kasih sayang ….”Perempuan itu malah menyergah. “Sudah kubilang, hari ini aku sangat tidak butuh duit …”“Jadi …”“Tidak usah bayar !”“Jangan ! kamu telah memberiku kepuasan”.“Bukan aku yang memberimu kepuasan, tapi selingkuhmu”“Hah …!” lelaki itu terkejut.“Biasanya orang kaya seperti kamu ini, rajin selingkuh, rajin nabung istri simpanan, jika perlu, memperkosa …persis seperti bapakku”“Sudahlah, ini dunia kita ……”“ Tidak ! aku butuh penderitaanmu!”“Tapi aku kan bukan bapakmu …”“Ya, tapi kamu mirip bapakku yang bejat itu …”“Hah ! Dasar perempuan gila !!!” Laki-laki itu tersentak, kaget sekali.“Apa katamu ?” Mendadak, menyusul secepat kilat, dan tanpa kata-kata lagi, selembar pisau kecil menyayat matanya sebelah kanan langsung luruh ke bawah memutus urat nadi lehernya. Lelaki itu tak sempat sanggup mengelak dan melawannya. Bahkan dia langsung menghujamkan pisau kecilnya ke seluruh isi perut lelaki itu. Hingga membuncah.Tak lama setelah itu, lelaki itu pun meninggal.Sejak dendamnya terbalaskan, perempuan itu malah menjadi kehilangan ingatan. Tapi anehnya, hukum…, entah kenapa pun menjadi sok suci. Tidak ada alasan apa-apa yang dapat membuat perempuan itu dapat terbebas dari jeratan kasus. Hasilnya, meskipun dia sudah gila, tetap dipenjara.*** Di dalam penjara, perempuan yang sudah gila itu, hanya melihat gelap wajah busuk bapaknya terus menerus mengorek-ngorek vaginanya. Bau amis laksana bangkai badak keluar dari rongga vaginanya. Setiap angin berhembus, seluruh penghuni penjara, sipir dan bawahan lainnya muntah-muntah. Perempuan itu benar-benar sudah menjadi bangkai hidup yang dipelihara dipenjara. Bauknya pasti sangat mengganggu semua penghuni penjara. Dari dalam vaginanya terus meleleh cairan busuk sekali. Sekarang, di mana-mana perempuan itu menjadi sangat terhina. Teriakan setiap orang memaki dan mencacinya. Bahkan ada yang ingin membakarnya hidup-hidup. “Lemparkan saja ke laut …perempuan busuk itu, mengotori penjara ..” teriak ramai orang sembari menutup lubang hidungnya. “Lemparkan saja …., lemparkan saja ke laut” “Sudah tahu gila masih saja dipenjara” gerutu yang lain. Suasana menjadi hingar bingar. Seorang ustad penyuluh kerohanian penjara menenangkan suasana. “Ini pelajaran sangat berharga buat kita semua. Kalian bisa saksikan sendiri. Maka apapun yang terjadi pada diri kita …serahkan saja semuanya pada Tuhan. Biarpun susah, jangan melacur !” katanya. “Sudahlah ustad jangan berkhotbah ! Cepat lempar perempuan itu keluar” beberapa penghuni penjara emosi, menyusul ustad yang tak bisa berbuat apa-apa. Dan langsung saja, akhirnya perempuan itu kembali dibantai ramai-ramai keluar penjara. Biar adil terhadap vonis rajamnya, perempuan itu harus disingkirkan dari kota itu. Lantas pada tengah laut. “Byuuurrr …!” perempuan itu dilempar hidup-hidup dari atas perahu. Dia malah tertawa. Setelahnya, nampak hiu-hiu besar berebut menyedot bau amis darahnya, yang telah membeku pada borok vaginanya. *** Kampung Dadap, Bencongan Indah, Curug, 4 April 2005 BIMBANG Bulan Ramadhan datang kembali kepadaku untuk yang kesekian kalinya seiring dengan cahaya fajar yang mengelus pagi di satu musim Sudah beberapa tahun aku tanpa istri, anak dan keluarga di Padang Besar, Malaysia. Wilayah tepi Barat yang berbatasan dengan Sadao, Thailand. Perjalanan ke sana jika menggunakan bis dari Pudu Raya, Kuala Lumpur jaraknya hampir semalam. Masyarakatnya yang petani dan pedagang selalu mengingatkanku pada kampung halaman. Rasanya tak ada yang berubah. Mereka ramah-ramah. Mungkin karena masih serumpun Melayu. Hanya bahasanya yang sedikit agak berbeda. Tapi itu tidak masalah. Sebab rata-rata mereka pintar berbahasa Inggris dan Mandarin. Dan aku, tentu saja banyak belajar dari mereka. Bahkan aku mengenal istilah tenggala dalam bahasa Melayu yang kalau di Jawa disebut luku juga dari mereka. Di sinilah aku berguru tentang kehidupan. Untuk masa laluluku yang super ngenes, tentunya keadaan seperti ini menjadi mahal harganya. Menjelang berbuka puasa hari pertama matahari semakin nampak merah kekuning-kuningan dibalik punggung bukit Barat. Surau-surau mulai dipenuhi dengan cahaya. Suara orang mengaji mendayu lembut menembus kalbu. Cikgu Mahmud menyimak para pelajar menghapal surah-surah al-qur’an. Sementara yang anak-anak banyak mendalami buku iqra yang dikarang oleh KH.Asad Humam dari Yogyakarta. “Hebat juga ya orang Indonesia”, dalam hati saya dengan bangga. Azan maghrib berkumandang dari atas Bukit yang mengingatkanku pada seorang budak berkulit hitam legam bernama Bilal. Cahaya lampu kota terpencar ke segenap sudut menandakan betapa untuk hari pertama di bulan Ramadhan ini mereka begitu semangat menahan lapar puasa. Petang itu, dinding-dinding tiba-tiba menjadi jeruji menekan kembaraku di sudut gelap. Dan selepas sholat maghrib, aku terpasung di belakang mimbar. Tiba-tiba air mata mengalir seperti jeram. Sementara mulut selalu terucap “Reneke…,Reneke …,Reneke…, jika kamu tahu isi hatiku…” seakan bayangan istriku berkelebat, kadang mendekat dan kembali menampar wajahku. Nyaliku terus saja terjatuh digirus lumut sembilu.“Maafkan aku sayang, jika terpaksa menghukum diri seperti ini di negeri orang. Biarlah! Anggap saja saya sudah mati” sebentuk tekad yang telah aku tanam sejak pertama kali aku memendam luka sakit hati akibat tamparan mulut Reneke. Maka ketika kakiku keluar dari Indonesia melewati Dumai menuju Malaka gumpalan dendam terus saja membentuk bola salju dan mengkristal. Aku sadari seumur hidup memang tak pernah merasa mudah tersinggung seperti kali ini. Mungkin ini menyangkut prinsip, sehingga aku tak lagi mengenal siapa-siapa, bagiku prinsip adalah prinsip. Masa kecilku yang malu kalau digandeng orang tua di tengah keramaian, telah membentuk egoku yang luar biasa. Di sinilah aku pantang sekali dikhianati. Aku punya sejuta cinta dan semangat. Akupun siap menghadiahkan kepada siapa saja, selama itu atas nama komit. Tapi sekali ketulusan itu tak dihargai, maka kembali aku tak berhajat menggantungkan hidup pada harapan. Biarlah aku berjalan seiring dengan perjalanan alam yang tak bisa diterka.Langit makin menghitam. Orang-orang sudah mulai menuju ke tempat peristirahatan setelah seharian dituntut oleh kerjaan. Aku masih tak mau bergeser dari tempat duduk. Dadaku makin tertikam oleh kenangan gelap Reneke. Semakin aku ingat jantung ini semakin tersayat-sayat hingga naik ke kepala. Minimal aku ingin melupakan masa lalu yang teramat getir. Lagipula, apakah orang tuamu sudah bisa menerima kehadiranku yang masih seperti ini. Setiap hari hanya bisa memberimu makan batu dan tanah, apakah kamu dan dua anak kita dapat kenyang dengan impian ?” kenangku pada kisah tujuh tahun silam dimana aku diusir dan dicaci maki oleh Reneke dan bapaknya. Bahkan sampai-sampai aku dipaksa untuk segera menceraikannya. Menyangkut yang satu itu, aku tetap bertahan. Bagaiamanapun ia dihalalkan Tuhan, tapi apa artinya jika justru Tuhan sendiri mengatakan benci. Langit-langit semakin menemaramkan setiap percikan cahaya. Irama nafas tersendat-sendat di garis kekalahan saat pribadi hanya bisa mengutuk masa lalu. Bibirku terus menyebut nama Tuhan, tetapi sesugguhnya dalam hatiku terus saja memintal dendam nan berkepanjangan. Beberapa teman dekat sering mengatakan bahwa aku ini sesungguhnya terserang penyakit trauma. Anehnya trauma ini hampir datang di setiap tahunnya pada awal Ramadhan. Tubuhku mendadak kaku dan kejang. Kenangan Reneke semakin menghajarku tanpa ampun. Jaringan sel-sel syaraf limbis diinjak-injak membentuk radang. Semakin aku berteriak kencang, sakitnya makin menyayat. Jiwaku memang terpukul berat. Waktu itu, seringkali setiap menyelesaikan masalah, Reneke lebih mengedepankan pisau ketimbang cara berfikir yang positif. Sehingga kalau saja aku tak sigap mencegahnya, tentu saja ia sudah mati bunuh diri. Belum lagi nanti dibumbui oleh mertua yang bengis kepadaku. Kutahan untuk tetap tenang dan mengalihkan perhatian jauh terhadap anak-anak. Jika memang Reneke tak lagi mencintaiku setidaknya aku masih punya harapan terhadap anak-anakku. Tapi bagaimana aku akan mendidiknya, jika setiap hari Reneke tak pernah puas-puasnya dengan keterbatasanku. “Reneke…, kamu telah kehilangan kesepakatan. Bukankah dulu ketika kita akan menikah, katamu siap menghadapi apapun yang akan terjadi. Toh kita akan menjawabnya secara bersama” kenangku meredakan keperihan Anehnya, semakin waktu, cara Reneke menyelesaikan permasalahan semakin mbulet dan di luar akal kesadaran saya. Setiap ia tidak sepaham denganku, selalu mengancam dengan bunuh diri. Jika aku katakan itu potret kekanakan akal dan imannya rasanya Reneke bukan anak yang kecil lagi ? Pernah suatu ketika ocehan nyosor wek-wek-wek Reneke menghatam dinding ketidaksadaranku. Sejak saat itu aku pergi dari rumah dan tak pulang sampai sekarang. Aku kubur rasa sayang kepada Reneke meskipun aku tetap berusaha tidak membencinya. *** Seterusnya, kembali aku diterkam ketakutan yang menyengat terhadap nasib Reneke dan anak-anak. Meskipun sejak kepergianku ke Malaysia mereka selalu aku kirimi ringit hampir setiap bulannya sebagai tanggung jawab seorang bapak, tetap saja saya tak pernah tahu keadaan mereka. Seperti Reneke masih merahasiakan semuanya, atau mungkin.… saya tidak tahu. Dan tiba-tiba ribuan tumor kecil yang menggenangi otak berubah menjadi radang kerinduan tersendiri yang terus menggulung. Bergegas aku berlari ke kedai kopi. Segera kupesan kopi dan roti canai pada Nurli langgananku orang India yang dalam pengakuannya sudah lima belas tahun mengais rejeki di Malaysia. Asap panas menyembul di atas cangkir. “Apa kabar istri dan kedua anakku di Indonesia ya …” kenangku menembus sisa waktu di antara tumpahan sayur kentang dan cuka. “Ah, tidak ! Aku tak boleh merindukan mereka” protes hati kecilku memperjuangkan dendam.Kali ini batinku bertempur antara dendam dan kerinduan. Di satu sisi aku sudah bertekad untuk tidak pulang ke Indonesia selama-lamanya, tapi di sisi yang lain, kerinduan itu tak bisa kubendung. “Ah, paling nanti lepas puasa dan lebaran tak ingat lagi” dendamku seperi merapatkan barisan menyusun pembelaan.“Tapi bagaimana dengan nasib Mbarep anak pertamaku, dan Fanfan si bungsu yang lucu?” Tanya kerinduanku.“Bagaimana perkembangan jiwanya, jika hidup tanpa kehadiran lengkap kedua orang tuanya di samping mereka? Kepada siapa mereka harus mengadu jika dinakali oleh teman-temannya, mau mengadu kepada bapaknya…tak pernah hadir di depan mereka” pikiran semakin menembus batas cakrawala yang bias.“tidak ! tidak!” segera kutelan roti canai tanpa ampun. Kali ini aku dihempas kebimbangan. Adzan Isya’ berkumandang terbawa angin bulan puasa. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, dendamku merajai jiwa. Tapi kali ini, kerinduan itu semakin tangguh memaksaku untuk segera pulang ke Indonesia. Keputusannya, besok kutemui istri dan kedua anakku. Aku akan pulang lewat Pelabuhan Kelang, tunggu aku di Medan ya sayang …*** Bencongan Indah, Curug, Tangerang 13 Oktober 2004 Guru Hasim Setelah bekerja pada sebuah Sekolah Dasar, Guru Hasim, begitu bapak dari dua anak ini, puluhan buku bekas sekolah dan kuliahnya serta beberapa majalah dan Koran yang sudah lecek tak pernah dibacanya kembali. Bahkan kitab sucinya Al-quran yang dijadikan hadiah mahar saat menikahi Subiyanti istrinya, pun tak disentuhnya lagi. Ia hanya digantung di atas soko yang terbuat dari kayu jati. Setiap pagi istrinya selalu membersihkan serpihan debu buku yang sudah semakin habis dimakan rayap. Sepertinya, cita-citanya telah usang setelah Tuhan memang pernah mempermudahkannya menjadi guru. Namun nasibnya diberikan keberuntungan yang jarang dimiliki kebanyakan orang, dimana kerapkali mati-matian harus membeli status pegawai negeri dengan uang sogokan sekitar 15-45 juta rupiah. Sekarang, meskipun Guru Hasim tak lagi menghabiskan banyak waktunya untuk membaca, sepertinya alasannya terlalu sibuk mengajar, tapi dia tak pernah membunuh harga diri saat harus mengganjal perut. Darahnya adalah wujud keberanian cita-citanya yang pernah diplitur pada harapan anak-anaknya. Pantang baginya menjilat seperti teman-temannya yang lain. Dia tetap senang menajaga aliran darahnya agar bening. Tidak dikotorinya dengan makanan haram.Sekarang dia sudah menjadi guru teladan, bahkan sebentar lagi menjadi kepala sekolah. Bertahun-tahun menjadi bawahan pada sekolah tempat dia menggali harta karun, Guru Hasim memang nampak geram. Pasalnya lingkungan sekolahnya termasuk teman-teman mengajarnya, selalu saja tak pernah greget dalam mengurusi pendidikan. Hari-harinya urusannya hanya dari siswa ke gaji melulu. Mengajar pun dari dulu itu-itu saja, hampir sama sekali tak ada yang berubah. Setelah lulus, anak-anak didiknya masih saja goblok-goblok. Hampir tak ada yang bisa menyelesaikan hidupnya dengan baik. Rata-rata masih manja sama orang tua. Minta susu dan disusui. Jika ditinggalkan pergi ke pasar masih merengek, padahal mereka sekarang sudah ada yang kuliah.Seakan semua ilmu yang diajarkan seperti bocor terus menerus. Bahkan kedongokan pun seringkali terjadi. Ketika anak-anak telah lepas SD masuk di SMP, pernah guru SMP-nya bertanya tentang arti bahasa Inggrisnya What ke dalam bahasa Indonesia mengenang kembali pelajaran sewaktu masih di SD. Jawabnya tidak ada yang juntrung. “Ya, lantas salah siapa, gurunya…?” pernah Guru Hasim introspeksi dalam hati. Mbingungi….Ada yang kehilangan ongkos ketika harus pulang ke rumah selepas sekolah, sementara jarak rumahnya dengan sekolahan hampir sepuluh kilo meter jauhnya. Berat rasanya kalau harus jalan kaki. Di sekolah tidak pernah ada pelajaran menyelesaikan kasus seperti ini. Minta tolong sama sopir untuk tumpangan gratis malah dibentak. “Sekolah nggak punya modal, sana minta duit sama guru… memangnya diajari apaan di sekolah. Nyari duit 1000 rupiah saja nggak becus, Sekolah itu biar pintar nyari duit. Bukan malah nyebelin…”, katanya.Bahkan pada suatu ketika, ada juga yang sekolah saja sudah nggak bayar, karena orang tuanya miskin. Tapi belajarnya masih saja nggak pernah sungguh-sungguh. Malah anehnya gurunya slalu saja memperjuangkan dan membelanya dengan mengadakan Kompensasi Pengurangan Subsidi BBM. Sampai sekolah harus Gratis. Sebenarnaya Guru Hasim sangat menolak dengan ide itu. Menurutnya itu sekolah menjawab soal, bukan menyelesaikan masalah. “Konyol… !”, keluhnya.Makanya Guru Hasim pernah protes saat rapat dengan BP3, “Lha kalau sekolah saja sudah gratis. Bisa dibayangkan bagaimana dengan pelaksanaan Proses Belajar Mengajar-nya. Jangan-jangan semua juga gratis. Mau makan apa ? batu ? Sekolah kok diajari manja. Gurunya pun paling hanya bisa bertahan dua sampai tiga bulan. Bagaimana mau mengajar kalau tidak digaji? Mau makan keikhlasan…, makan tuh sorga …! Buat dong sekolah yang berkualitas dengan harga terjangkau. Artinya. Tetap ada konsekwensi. Tertaanam pada pikiran murid. Bahwa ilmu itu mahal, maka mencarinya harus sungguh-sungguh. Tidak asal-asalan. ***Senja, dikala Guru Hasim leyeh-leyeh menunggu adzan maghrib dipelataran masjid al-Barakah dekat rumahnya, Kartini anak ibu Shese datang menghampirinya menawarkan dagangan pisang gorengnya. Tubuhnya kecil tapi dia nampak lincah dan cerdas. Tak ada goresan duka di mukanya.“Gorengan Pak Guru ?” “Boleh …” jawab Guru Hasim.“Berapa satunya ?” tanya Guru Hasim selanjutnya sembari memilih-milih.“Semuanya sama Pak rasanya, manis dan gurih. Gorengnya pakai telur” jawab Kartini tidak langsung menjawab harga.“Jadi …”“Bapak rasakan dulu, pasti enak …” Kartini sedikit merayu. Nampak bibirnya selalu tersenyum. Meskipun kulitnya agak hitam tapi nampak cukup manis. Banyak orang yang jajan dengannya. Kartini sangat ramah. Bahasanya lembut dan santun. Setiap hari dagangannya selalu habis.“Kamu belajar dagang darimana …” Tanya Guru Hasim penasaran.“Saya dulu pernah sekolah sampai kelas satu SMP tapi lantas keluar, tak ada biaya …” jawabnya.“Orang tuamu kerja apa ?”“Ngajar juga sama seperti Bapak …, tapi nggak pernah kaya-kaya …”“Memangnya kalau kerja ngajar harus kaya ?” Tanya Guru Hasim balik.“Saya malu Pak, Bapak sudah kawin lagi. Sekarang nggak tahu dimana rimbanya. Ibu saya nggak pernah dikasih uang. Sementara Ibu sendiri, di sekolah ngajar Ekonomi. Bicaranya tentang laba dan rugi melulu. Tapi gajinya sangat kecil. Tempat ibu mengajar rata-rata murid-muridnya tidak bayar. Gratis. Sekarang ibu saya sealalu makan hati”.“Kamu kok cerdas sih nak, siapa nama kamu ?”“Kartini”Guru Hasim selanjutnya minta dibungkuskan 10 gorengan.“Berapa harganya ?” Tanya Guru Hasim balik.“Rp. 5000” jawab Kartini dengan rendah hati.“Oh ya Kartini…, boleh Bapak tanya satu hal …”“Boleh Pak, apa itu …”“Kenapa kamu nggak sekolah ?”“…….” Kartini hanya diam. Dan dari bibirnya terlintas sesungging senyum agak sedikit malu.“Tapi kamu pasti sekarang banyak duit, dari dagang gorengan ini kan …” Guru Hasim menghibur Kartini, kwatir dia tersinggung.“Ya Pak, saya sudah nggak bisa sekolah …, lagipula sekolah nggak bisa memberiku duit” jawabnya malah menggeramkan hati Guru Hasim, meskipun sebenarnya adalah pukulan.“Kamu salah memahami sekolah, Kartini …”“Tidak.. Pak, saya selalu membaca buku di Perpustakaan Kota Tangerang setiap hari Rabu, satu minggu sekali. Saya juga punya kartu perpustakaannya …, saya sekolah otodidak di sana …” sergah Kartini menyemburat kecerdasnya.Guru Hasim terkejut. Selama empat puluh delapan tahun dia bermukim di Kota Tangerang tak pernah menginjak yang namanya perpustakaan. Alamatnya pun nggak tahu. Sadar dia kalau selama ini hanya bergantung pada buku sekolah yang disusun kurikulum.“Kartini … kamu lebih teladan daripada saya …, kamu telah memberi wejangan saya…” tiba-tiba kesadaran Guru Hasim jujur dari lubuk hatinya yang paling dalam.Adzan maghrib belum datang. Kembali Guru Hasim menikmati gorengan sendirian. Dia nampak lahap. Sepertinya gorengan Kartini memang enak.Lantas nampak Guru Hasim sejenak berfikir mengenang pertemuannya dengan Kartini.“Betul juga apa kata Kartini …, sekolah sesungguhnya tak pernah diajari menjawab kehidupan. Hari-hari hanya teori melulu. Pantas Paulo Freire pernah bilang bahwa sekolah itu candu. Buat apa sekolah kalau hanya bisa mengeluh terus menerus. Mending seperti Kartini… jelas. Dia tak kelihatan guratan takut pada hidup. Tidak seperti saya dan teman-teman guru lainnya. Meskipun jatah gaji ada dari pemerintah. Tapi perasaan kurang selalu saja muncul…, bahkan yang terjadi adalah selalu mengeluh terus-menerus… pantas kami banyak yang mudah strok dan mati mendadak. Padahal kami guru” , kenangnya selanjutnya sembari menghabiskan gorengan yang tersisa satu.Rumahnya Guru Hasim nampak sepi, sebab setelah Krakatau dinyatakan aktif istri dan anak-anaknya jaga-jaga ngungsi ke tempat neneknya di Pati. Menyusul adzan maghrib datang berkumandang. Maksud hati Guru Hasim hendak mengambil wudhu. Tapi perutnya kekenyangan setelah makan sepuluh biji gorengan yang dibelinya dari Kartini. Akhirnya Guru Hasim masuk kamar dan tidur melanjutkan cita-citanya dalam mimpi. ***“Katanya Guru teladan Sim…? Sholat ! Sholat ! Malu dong sama murid kamu Minkhairi …” teriak Jin Erot tiba-tiba membentaknya selintas dalam mimpi.Hasim terkejut dan terbangun. Ternyata sudah pagi. Daarul Jannah, Bencongan Indah 21 april 2005 BANTAR KALI CISADANE Saat malam menunjuk rembulan di angka tujuh belas, cahaya nanbergetah mengakrabkan riang kita pada hamparan ragam tikar dan permadani. Berkali-kali kita mengecupnya, seperti pada bumi, terus masyuk menggelar ribuan sujud. Dengan cara kita masing-masing, kau, aku dan kita , ekstasi menyodorkan rupa-rupa kepedulian. Pukul 20.00 WIB. Tak sabar, riak Cisadane berkecipak. Dendang riang ditabur selaksa tanya. “Aku telah menahannya sekian lama. Ruangan gelap, listrik dicabut, bagaimana bisa bernyanyi, berkecipak, menari, berbait, melingkar untuk selanjutnya ?”Sendau gurau lalu meriah penaka kanak-kanak, tanpa dosa kita bersama nyemplung berenang ke dasarnya. Seorang Mahdi, dengan speaker tongkangnya lantas mengatur barisan. Lantas ia pun angkat bicara …bahasanya melingkar-lingkar sebanding dengan rambutnya yang ikal.” Selamat malam seniman…” sapanya begitu manis untuk semua, disambut tepuk tangan meriah. Kerumunan sebelah timur bagai supporter, menabuh gemercik Cisadane, membuat basah rona-rona sumringah.“Inilah hari setelah ulangtahun negeri, dimana hujan telah menimbuninya dengan janji. Petani yang miskin dan padinya yang sebentar lagi menguning ditimbuni janji. Nelayan-nelayan yang bersahabat dengan ombak. Jaring dan tangkapan ikannya ditimbuni janji. Hutan-hutan yang menghijau, lebatnya meninabobokkan kesejukan ditimbuni janji. Para guru, sekolah-sekolahnya menjadi janji. Tempat peribadatan, pondok pesantren, adzan dan khotbah berubah menjadi janji. Kelaparan anak-anak jalanan, kemiskinan kota dan desa yang sanitasinya terancam. Limbah pabrik, pemulung dan pengemis, cita-citanya menjadi janji. Mahasiswa, dosen, akademisi, ditimbuni janji tontonan dan media masa semua tertimbun dengan janji. Janji telah menguliti kepribadian negeri. Segala yang harapan dan keinginan berbentuk janji. Janji negeri adalah seonggok bendera. Berkibar tak tentu arah dimakan angin. Menari semu tanpa jati diri Inilah hari setelah hari ulangtahun negeriku. Dimana lautan, gunung, sawah, ladang, rawa, jalan-jalan raya. Pabrik, masjid, gereja, wihara, sungai, gedung-gedung pemerintahan, sekolahan dan pasar adalah janji itu sendiri. Lukisan mimpi dan lamunan. Menjebak dan menjerembabkan. Saat negeriku tertimbun janji. Terpaut dalam angan semu. Ditiris gelombang luka. Sampai kapan ?” prolognya menebar ketimpangan negeri, membuka dialog.Untuk sesaat hening …Mahdi telah berhasil menyelamkan semadi anggur menuju ranjang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar