RAMALAN JODOH

Minggu, 24 Januari 2010

Gerimis....

Dia diam. Hanya badannya yang bersandar di tembok sesekali terguncang pelan. Ada danau menggenangi matanya. Ya, dia menangis diam-diam.
Sudah hampir dua jam aku merayunya berbicara. Namun, seberapa kalimat yang meluncur dari bibirku, selama itu pula ia memilih tak berbicara.
jujur aku bingung. Bibir mungilnya yag terbiasa ramai oleh bunyi kini terbungkam rapat tanpa suara. “Berceritalah..!” pintaku. Tetap tak tersahuti.
“Katakan di pucuk pohon mana kau menginginkan kita bercinta?” tanyaku menggodanya.
Mendengar kalimat itu, sebentar matanya menantang mataku. tapi, hanya sebentar. Kami memang tak pernah benar-benar berani bercinta. setumpuk firman dalam kitab suci masih cukup untuk menakut-nakuti kami berdua bila melakukannya. Sederet nilai seolah menjadi jangkar yang memberati pikiran untuk meyakini bahwa hal kayak gitu mah biasa.. Bercinta di atas pohon tertinggi adalah imajinasi terliar yang pernah kami obrolkan. Hahaha, sungguh diskusi dua orang penakut.
Dia masih saja diam.
Sementara di luar, gerimis mulai turun. Sesekali tempias airnya masuk melewati lubang jendela kamarku yang tak tertutup rapat.
Kulirik jam dinding, sudah pukul 17.13 WIB. Beberapa jam sudah berlalu sejak ia datang dalam diam. Aku sudah mulai kelelahan merayunya berbicara. Aku pun sudah hampir kehilangan kalimat-kalimatku sendiri. Aku mulai…
tiba-tiba saja dia berbicara “Aku hamil…tidak denganmu. tapi orang lain”
di luar masih saja gerimis
Sebuah pesan singkat tiba2 muncul dalam inbox HP-ku.
“Kutunggu di taman yang dulu, jam lima sore ini. Salam. Alana”
Aku masih tak percaya. Kuulangi sekali lagi membacanya.
Masih sama. Tak ada satu pun huruf yang berubah. Tanpa bermaksud merendahkan
kemampuan teknologi aku mencoba mengamankan perasaanku dengan berusaha tak
percaya.
Bagaimana mungkin Alana tiba-tiba muncul lagi dalam
kehidupanku. Telah delapan tahun aku mencoba mengubur segala ingatan
tentangnya. Let the dead is dead. Yang mati biarlah mati.
Aku berusaha kembali menekuri pekerjaanku yang nyaris
terancam deadline. Tinggal satu halaman saja, maka aku bisa menyetorkannya pada
redaktur sore ini juga. Tak terlampau susah buatku untuk menyelesaikannya.
Semua sudah ada di kepala.
Sedetik, dua detik, semenit, merambat satu jam. Tanganku
tiba-tiba terasa tak bisa bergerak. Dua puluh enam simbol alphabet ditambah 10
angka dan ikon-ikon lain dalam tuts keyboardku seolah hilang arti. Bahkan
tiba-tiba 17 inch layar monitor di depanku langsung menjelma dirinya. A L A N
A…
Ah, pesan yang dikirimnya sore ini tak kusadar telah mendera
batin. Ingatan kembali tentangnya kurasa bagai pukulan emosional yang nyaris
tak terlawan. Mungkin seperti ini rasanya ketika Superman bertemu hijau batu
krypton?
Arrgghh…mengapa
aku masih saja seperti ini.
Alana adalah kosong. Nama dan bayangannya telah kubunuh
bertahun-tahun lalu.
Aku memang telah memaafkan segala pengkhianatannya. Walau
sangat berat aku berusaha menaruh egoku di koordinat terbawah waktu itu. Ia
hamil dengan orang lain. Ia tak pernah mau pernah mau bercerita siapa lelaki
itu. Bahkan, sampai akhirnya ia pergi menghilang aku tetap tak mampu marah.
Pergilah dengan semua cinta yang kau punya. Biarkan aku
berjalan semampunya dengan mengumpulkan sisa-sisa patahannya. Getirku sudah
lenyap. Sebab, kegetiran yang bertumpuk-tumpuk tak akan terasa lagi sebagai
kegetiran. Ia hanya akan menjadi rasa yang biasa.
Sudah jam lima lebih lima menit. Jika harus datang
menemui Alana sore ini aku telah terlambat. Aku tak peduli. Ruang dan waktu hanyalah
buatan manusia. Sementara rasaku adalah adikarya Tuhan yang bahkan tak
diberikan-Nya kepada malaikat sekalipun.
Tak sampai sepuluh menit aku telah tiba di taman. Taman akasia tempat kami dulu sering menghabiskan hari. Aku berjalan menuju bangku kosong
di bawah pohon akasia terbesar di pojok kiri taman. Tempat duduk favorit kami.
Aku duduk sendirian. Alana belum datang.
Alana bukan lagi kosong. Sore ini ia berubah wujud menjadi
teka-teki silang buatku. Pertanyaan demi pertanyaan muncul tanpa jawaban. Apa
kabarnya? Apakah yang diinginkannya dariku sore ini? Masih kah wajahnya yang
tirus membius itu mampu memompa adrenalinku? Entahlah…
Sedetik, dua detik, semenit merambat satu jam. Alana belum
juga datang.
satu jam, dua jam, tiga jam. Alana belum juga hadir
melegakan penantianku.
Gerimis mulai turun menemani malam yang semakin menua. Sudah
lima jam aku menunggu di bangku
taman ini. Sendiri.
Akhirnya aku berdiri. Berjalan menerobos gerimis.
Meninggalkan kosong, menuju pasti.
Walau malam gerimis…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar